اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَـــــــثِيْرًا وَسُبْحَنَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْـــلاَ
Tiada yang patut disembah kecuali Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Yang menunaikan janji-Nya, dan menolong hamba-Nya, dan memuliakan tentara-Nya, dan menghancurkan musuh dengan ke-Esa-an-Nya
Tanggal 10 dzulhijjah gema takbir dan tahmid mengiringi jama’ah haji menunaikan rukunnya, yaitu melempar jumrah Aqabah tidak hanya sebagai simbol furqan dan baraah, tetapi simbol permusuhan dan kebencian. Bacaan di atas diungkapkan oleh jama’ah haji tatkala ia sampai di shafa untuk menunaikan sa’i
Prosesi qurban bukanlah sesuatu yang aneh dalam peradaban manusia. Qurban adalah sebuah ungkapan persembahan sebagai simbol ketaatan kepada sosok yang dia sembah (sacrifice : the killing of a victim on an altar).
Prosesi ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan keterhubungan puncak dari seorang hamba kepada sembahannya, yang pengorbanannya tersebut menjadi ukuran atas kualitas kecintaannya. Untuk itu dia rela untuk memberikan sesuatu yang terbaiknya.
اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Dalam sejarah manusia, simbol pengorbanan ini telah dilakukan oleh para putra Nabi Adam a.s., yaitu Kabil dan Habil. Habil memberikan persembahan terbaiknya sebagai ungkapan ketakwaan yang hakiki kepada Allah SWT, sementara Kabil memberikan persembahan yang tidak diiringi dengan ketakwaan.
Perbedaan ini mengakibatkan persembahan Habil diterima oleh Allah, sementara persembahan Kabil tidak sampai kepada Allah, sehingga muncul kebencian dari Kabil dan akhirnya membunuh Habil.
Simbolisasi qurban sebagai bentuk pengabdian puncakpun berulang pada masa Ibrahim a.s. Setelah sekian lama beliau memohon keturunan dan lahirlah Ismail dari Siti Hajar.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِيْنَ, فَبَشَرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh”. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (QS Ash-shaffat : 100-101)
Tidak berselang lama kerinduan akan hadirnya jabang bayi berakhir tatkala Allah perintahkan untuk meninggalkan di daerah yang tandus, di sisi bangunan tua (Bakkah).
Perjalanan yang panjang mempertemukan kembali dua insan, ayah dan anak. Namun kembali luapan kerinduanpun hampir sirna tatkala Allah memerintahkan untuk menyembelih sosok yang sangat dicintainya itu.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS Ash-shaffat : 102)
Dan Allah SWT menggantinya dengan hewan sembelihan yang besar. Peristiwa ini menunjukkan ujian ketaatan Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. atas perintah Allah SWT dan sekaligus keshabaran dalam menjalankan ketaatannya. Dan Allah mengabadikan peristiwa ini dalam rangkaian ibadah haji bagi umat di kemudian hari.
اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Fenomena ibadah qurban berlangsung turun-temurun semenjak peristiwa tersebut. Namun makna ketaatan telah sirna dan berganti menjadi simbol kemuliaan manusia secara materi dan akan mengangkat status sosial di kalangan masyarakat.
Hal ini dimanfaatkan oleh Rasulullah secara tepat pada saat akan dilakukannya perjalanan haji pertama Rasulullah saw pada tahun ke-6 hijriyah. Menggiring hewan qurban ke tanah Mekah pada bulan dzulhijjah adalah prosesi peribadahan yang diakui oleh semua masyarakat arab.
Tatkala mu’minin sudah memiliki kekuatan yang penuh dan kafir quraisy sudah semakin terpuruk, Rasulullah saw memaklumatkan ibadah haji yang sebelumnya terlarang bagi para muhajir.
Upaya diplomasi kafir quraisy gagal sudah tatkala beberapa utusannya mampu diyakinkan oleh penampilan rombongan Rasulullah yang bukan untuk perang, tetapi akan menunaikan ibadah haji. Seperti peristiwa diutusnya Hulais sebagai berikut :
Tatkala Nabi melihatnya ia datang, dimintanya supaya ternak kurban itu dilepaskan didepan matanya, supaya dapat melihat dengan mata kepala sendiri adanya suatu bukti yang sudah jelas, bahwa orang-orang yang oleh Quraisy hendak diperangi itu tidak lain adalah orang-orang yang datang hendak berziarah ke Rumah Suci.
Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak kurban yang tujuhpuluh ekor itu, mengalir dari tengah wadi dengan bulu yang sudah rontok. Terharu sekali ia melihat pemandangan itu. Dalam hatinya timbul rasa keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam terhadap mereka, yang datang bukan ingin berperang atau mencari permusuhan.
Begitupun hal yang dialami utusan berikutnya, yakni ‘Urwah bin Mas’ud.
Namun apapun motifnya, di mata kafir quraisy, masuknya Muhammad saw dan umatnya merupakan kekalahan politik yang amat fatal, sehingga mereka mengutus Suhail bin Amru untuk menyampaikan kata akhir, yaitu boleh masuk Mekah tetapi tidak saat itu. Dan perjanjian yang terkesan berat sebelah dibuat dan disetujui oleh Rasulullahh saw. Hal ini sempat menuai kekecewaan di antara mu’minin. Apalagi pada saat itu diwarnai oleh peristiwa penyiksaan Abu Jandal oleh bapaknya, Suhail bin Amru, di hadapan Rasulullah dan para sahabatnya, karena lari dari Mekah dan bergabung ke rombongan Rasulullah.
Kekecewaan rombongan muslimin yang amat sangat ini ditunjukkan dengan tidak beranjaknya mereka tatkala diperintahkan oleh Rasulullah untuk mencukur rambut dan menyembelih qurban. Dan setelah Rasulullah mengerjakannya sendiri, merekapun serentak melakukannya. Mereka sembelih hewan qurban sebagai bentuk ketaatan kepada Rasulullah, walaupun tidak jadi melakukan ibadah haji. Bentuk prosesi qurban ini tentunya jauh dari warna budaya arab pada saat itu yang menjadikan hewan qurban sebagai lambang status sosial, dan sama sekali bukan dikaitkan dengan prosesi shadaqah dari yang berpunya ke masyarakat miskin yang tidak mampu qurban. Prosesi ibadah qurban pada saat itu adalah lambang kemenangan yang tertunda, sekaligus menumbuhkan kebencian yang semakin tinggi kepada orang-orang kafir quraisy yang memamerkan arogansi kekufuran dan kebenciannya terhadap umat Islam. Takbir dan tahmid pada saat itu diiringi dengan sikap baraah dan permusuhan yang luar biasa, sementara di sisi lain dituntut sebuah ketaatan. Seakan kata-kata Ismail terhadap bapaknya berulang pada hari ini :
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Lima belas abad sudah peristiwa ini berlalu, tata nilai prosesi ibadah qurban sudah mulai bergeser. Dari makna/simbol berubah menjadi manfaat.
Pemaknaan dalam prosesi ritual dipandang secara aqliyah sebagai sebuah tanda kemurahan sebuah agama yang senantiasa berorientasi kepada perlindungan kaum miskin. Kebenaran hakiki bergeser nilainya menjadi kemaslahatan kehidupan manusia.
Sistem penanganan prosesi qurban ditangani secara profesional untuk menjamin sampainya daging ke fakir miskin. Tata cara dipermudah, cukup menyetorkan sejumlah uang lantas diyakinkan bahwa hasil sembelihannya akan sampai menyentuh masyarakat yang membutuhkan. Sering timbul pertanyaan dari muqarib, kemana dagingnya akan disebarkan. Setelah itu mereka puas jika terbukti kebenaran distribusinya.
Lantas bagaimana dengan tumbuhnya kualitas ketaatan dan kesabaran menghadapi rongrongan hawa nafsu syaithan yang mengganggu keikhlasan?
Tumbuhkah jiwa pengorbanan yang utuh dalam kesiapan menghadapi hadangan orang-orang kafir tatkala kita hendak menunaikan totalitas syariah Allah SWT?
Adakah semangat kita dalam jihad fii sabilillah terpancar tatkala terpancar dan bersimbahnya darah hewan qurban?
اَللَّهُمَّ تَقَـــــبَّلْ مِنِّى , بِسْمِ اللهِ اللهُ اَكْبَرُ
”Allaahumma taqabbal minni, bismillaahi Allaahu akbar”
Jika semua pertanyaan di atas kita jawab dengan gelengan kepala, ini menjadi bukti wujud ketakwaan telah bergeser pada sebuah komitmen fenomena sosial. Telah hilang jiwa dan semangat ibadah qurban dan berganti pada bakti sosial.
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Hajj : 37)
Jelaslah ayat tersebut menunjukkan tidak ada kaitan antara fisik hewan qurban dengan muqaribnya. Semua itu hanya simbol ketakwaan seorang ’abid di hadapan Ma’budnya. Seorang muqarib tidak perlu bertanya sampai atau tidak sampainya daging tersebut ke fakir miskin atau orang yang sangat membutuhkannya. Cukuplah itu tugas dan tanggung jawab panitia dalam mendistribusikannya.
اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Marilah wahai para muqarib, kita orientasikan jiwa-jiwa kita pada suasana bagaimana Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. menghadapi pertentangan dalam bathin yang nyata-nyata merupakan upaya dominasi syeithan laknatullah dalam membangkitkan hawa nafsunya untuk mengajak dan membujuk agar menjauhi perintah Allah. Kita tumbuhkan jiwa yang bergejolak yang semakin tumbuh kembang kebencian dan permusuhan terhadap simbol-simbol kekafiran.
Sudah nyata pada saat ini rongrongan pola fikir dan budaya syethan menghantam ketidak berdayaan umat islam, baik secara eksternal tangan-tangan kafirin yang selalu mengkondisikan kebergantungan kita dalam politik, sosial, dan ekonomi, maupun secara internal orang Islam sendiri yang teracuni pemikiran liberalistik.
Jangankan jauh di sana, tanah Palestina, Afghanistan, Irak yang dari hari ke hari menunjukkan semakin kuatnya cengkraman kafirin, di sini, di tempat kita berpijak, di bumi yang kita cintai ini, adakah kita mampu merealisasikan aturan yang kita imani akan menata kehidupan ini menjadi lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat? Adakah kemampuan kita untuk menentukan nasib sendiri tanpa rongrongan tangan-tangan asing, yang notabene musuh-musuh Islam?.
Apakah kita masih yakin memiliki aset bumi ini, setelah beramai-ramai perusahaan asing memanfatkan kebijakan privatisasi hajat hidup rakyat ini?
Apakah kita masih berharap ada sepetak bumi di negeri ini yang mampu menghidupi anak cucu kita tanpa didikte oleh asing?
Apakah kita menganggap ketidakadilan di negeri ini hanya kisah pada mimpi-mimpi buruk tidur kita?
Apakah keruntuhan moral bangsa ini hanyalah sekadar keniscayaan sebagai batu ujian keterjagaan akhlaq kita? Biarlah itu orang lain, yang penting jangan kita dan anak-anak kita.
Tidak sadarkah kita bahwa suatu saat kelak, justru anak-cucu kita yang akan menanggung akibat kebejatan moral bangsa pada saat ini?
Apakah umat islam pada hari ini sedang tertidur, terbuai oleh lagu-lagi melankolis syeitan yang mendayu-dayu sehingga yang tercipta hanya mimpi-mimpi indah tentang sebuah kedamaian yang berjalan instan tanpa resiko?
Tidak sadarkah kita bahwa rahmatan lil alamin-nya Rasulullah ditandai dengan berbagai peperangan melawan kekafiran?
Tidak pahamkah kita bahwa akhlaq mulianya Rasulullah ditampilkan dengan sikap keterpisahan (baraah), perbedaan (furqan), permusuhan (’adaawah), dan kebencian (baghdhaa)?
Lupakah kita ucapan Rasulullah tatkala berangkat ke tanah suci dengan menyatakan ”Saya akan terus berjuang, demi Allah, atas dasar yang diutuskan Allah kepada saya sampai nanti Allah memberikan kemenangan atau sampai leher ini putus terpenggal”
Begitu banyak pertanyaan senada yang andaikata kita jawab rasanya semakin memperjelas jauhnya kita dari perjalanan risalah yang sudah digariskan para nabi.
اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Ikhwan fiddin,
Di tengah keprihatinan ini marilah kita jadikan simbahan darah hewan qurban yang akan kita saksikan nanti sebagai pemicu bangkitnya keimanan kita yang hakiki, semangat yang bergelora dalam jihad fii sabilillah..
Marilah kita kunjungi dan penuhi tanah lapang prosesi ibadah qurban, sekali lagi bukan karena daging sembelihannya, tetapi jadikan tempat itu sebagai saksi atas ikrar kita untuk siap bersimbah darah mempertahankan nilai-nilai luhur syariat Allah
إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللّهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.(QS At-Taubah : 111)
Di penghujung khutbah ini, marilah kita tutup dengan iringan permohonan kita kepada Allah ’azaa wajalla :
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، اَلْمُتَعَالِيْ عَنِ الْمُشَارَكَةِ وَالْمُشَاكَلَةِ لِسَائِرِ الْبَشَرِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْمُعْتَبَرُ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ صَلَّى عَلَى نَبِيِّهِ قَدِيْمًا. إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
Ya Allah, kami telah berbuat dzalim terhadap diri kami, jika Engkau tidak mengampuni kami tentulah kami termasuk orang-orang yang merugi
رَبَنآ اغفِر لَنَا ذُنُوبَنَا وَإسرَافَنَا فيِ أمرِنَا وَثَبِت أقدَامَنَا وَانصُرنَا عَلَىالقَومِ الكَافِرِينَ
Yaa Allah, ampunilah dosa-dosa dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan kami, tetapkanlah pendirian kami, tolonglah kami terhadap kaum yang kafir
Kepada Engkaulah kami bertawakal, ya Allah. Janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang dzalim. Dan selamatkanlah kami dengan rahmat-Mu dari tipu daya orang-orang yang kafir
Allahumma ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu akan keteguhan dalam segala urusanku, dan aku memohon kepada-Mu akan ketetapan hati, dan aku memohon kepada-Mu anugrah untuk mampu bersyukur atas ni’mat-Mu, baiknya aku dalam beribadah kepada-Mu, dan aku memohon kepada-Mu lidah yang mampu berkata benar, hati yang selamat, akhlaq yang lurus. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan sudah pasti yang Engkau ketahui, dan aku memohon kepada-Mu akan kebaikan yang sudah pasti Engkau ketahui, dan aku memohon ampun dari apa yang telah pasti Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau maha mengetahui akan segala yang ghaib.
لاَاِلــهَ اِلاَّ اللهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهْ , وَنَصَرَ عَبْدَهُ, وَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الاَحْزَابَ وَحْدَه
Tiada yang patut disembah kecuali Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Yang menunaikan janji-Nya, dan menolong hamba-Nya, dan memuliakan tentara-Nya, dan menghancurkan musuh dengan ke-Esa-an-Nya
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ , وََتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمِ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلاَمٌ عَلىَ المُْرْسَلِْينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
اِنَّافَتَحْنَالَكَ فَتْحًامُبِيْنَا
صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمِ
Bandung, 10 Dzulhijjah 1427
Oleh : Bambang Subekti
Disampaikan di lapangan Kampus Unpas Lengkong Besar